Senin, 09 Juni 2014

Tak Seharusnya Cinta Menyakiti

“Aku benar-benar menyukaimu.” ucapnya membuatku tersipu malu. “Perasaanmu sendiri gimana?” tanyanya lagi menatap tajam mataku. Aku hanya terdiam seakan tak sanggup berkata apa-apa. Aku juga menyukainya, namun bibirku seakan membisu di hadapannya.
“Ratna…” serunya memanggilku.
“Hahh?” kagetku memalingkan tubuhku ke arahnya.
“Kamu kenapa diam saja, perasaanmu ke aku gimana?” matanya begitu penuh harapan, membuat jantungku berdetak lebih kencang.
“Eemmtt… aku… sebenarnya, juga menyukaimu.” ucapku lirih. “Tapi… aku mau nya, kita selesaiin kuliah kita dulu. Terus kamu ketemu sama orangtuaku, melamarku.”
“Iya, aku akan lakuin itu buat kamu!” tegasnya sembari tersenyum lebar.
Hatiku merasa berbunga-bunga, seakan tempat ini berubah menjadi taman bunga yang hanya ada aku dengannya berada di taman bunga ini.
Dika selalu memberiku kejutan, seringkali dia memberiku perhatian kecil di hadapan teman-temannya. Tanpa rasa canggung lagi, dia memperlakukanku dengan sangat romantis. Dan tak menghiraukan candaan dari teman-temannya yang selalu menggodaku.
Beberapa hari sudah, aku selalu disibukkan dengan segala tugas kuliah. Tak ada waktu untukku sekedar pergi jalan bareng dengannya. Seringkali aku menerima inboxnya melalui handphone ingin jalan berdua. Namun aku tak menghiraukannya, karena pikiranku masih fokus dengan segudang tugas kuliahku. Setiap bertemu di kampus pun, kami juga jadi jarang ngobrol bersama. Aku hanya berharap dia bisa memahami keadaanku saat ini.
Usai sudah semua tugas kuliahku, handuk putih masih melilit rambutku yang basah. Lega rasanya sudah kelar semuanya. Terlintas wajah Dika di benakku, dengan senyum manisnya. Tanganku meraih handphone yang masih tergeletak di atas kasur. Dan mengiriminya pesan, ingin mengajaknya untuk jalan-jalan. Namun senyumanku seakan runtuh terkena badai, saat dia mengatakan tidak bisa pergi denganku karena tugasnya yang sangat banyak.
Dika masih sibuk di depan layar laptopnya di laboratorium multimedia. Aku putuskan untuk menunggunya, hingga dia menyelesaikan tugas kuliahnya. Satu jam sudah berlalu, tapi dia masih belum keluar juga. Aku menengoknya dari balik jendela ruang laboratorium, kedua matanya masih sibuk memandangi layar laptopnya. Aku kembali duduk sambil memandangi jam tanganku, yang terus berjalan. Terasa lama sekali menunggunya dari balik dinding, tapi entah kenapa rasanya aku ingin tetap menunggunya hingga dia usai.
Dua jam sudah berlalu, aku mendengar suara langkah kaki mendekatiku. Aku menengok ke arah suara langkah kaki itu berjalan. Ternyata aku mendapati sosok Dika, sudah berdiri tepat di depanku.
“Kamu kenapa masih nungguin aku? Tadi aku kan udah inbox, nyuruh kamu pulang duluan.”
“Kalau aku pulang duluan, terus kapan kita bisa jalan bareng!” ketusku mendengar ucapannya, bukan datang dengan senyuman malah memberiku ekspresi marah. “Waktu kamu pengen ngajak jalan, aku sibuk. Sekarang giliran aku bisa, kamunya yang mulai sibuk. Terus kapan kita jalan bareng?” gerutuku.
“Iya, tapi kamu kan nggak harus nunggu aku selama ini juga. Kamu bisa pulang duluan.” tukasnya melototkan matanya ke arahku.
“Kamu kesini mau ngajak jalan bareng, atau mau marah-marah sih?” seruku karena sikapnya yang semakin menyebalkan. “Kalau kamu kesini cuma buat marah-marah, aku pulang aja deh! Percuma juga nungguin kamu!” ketusku melangkahkan kakiku pergi.
“Hey… tunggu donk!” teriaknya menyusulku, aku pun menghentikan langkah kakiku. “Kamu kenapa sih? Kok malah jadi ngambek?” ia meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Habisnya kamu nyebelin banget sih, aku tuh dari tadi nungguin kamu. Supaya kita bisa jalan bareng. Tapi kamu malah marah-marah sama aku.”
“Iya aku minta maaf.” ucapnya sembari tersenyum memandangku. “Duduk disana yuk?” tunjuknya ke arah kursi yang ada di taman kampus.
Hatiku seakan terkena reruntuhan tebing, saat mendengar dia mengatakan akan pergi sementara waktu untuk pulang ke rumahnya di luar kota. Itu artinya aku tidak akan bertemu dengannya, meskipun cuma beberapa hari. Tapi tetap saja aku akan sangat merindukan dia, padahal baru saja kita bisa duduk berdua setelah kita sibuk dengan kesibukan masing-masing. Tapi mau nggak mau aku harus merelakan dia pulang untuk sementara waktu.
Beberapa hari sudah aku tak bertemu dengannya, tak ada lagi senyumannya yang aku lihat. Tak ada lagi lalu lalangnya yang selalu berjalan di sampingku setiap melewati koridor kampus. Aku sungguh merindukannya, kembali menemaniku.
Aku masih asyik mengunyah makanan di depanku bersama Tio teman sekelasku di kantin kampus. Betapa kagetnya aku melihat sosok lelaki yang berjalan di depanku. Aku jadi tersedak menelan makananku, Tio segera menyodorkan minuman untuk mengobati sedakku. Segera aku meraihnya dan meneguk segelas air putih yang disodorkan Tio.
“Tio aku duluan ya?” pamitku meninggalkan Tio yang masih duduk mengunyah makanannya.
Aku segera berlari menghampiri lelaki yang melintas di depanku sewaktu di kantin. Ternyata benar dugaanku bahwa itu adalah Dika, tapi kenapa dia tidak mengabariku kalau sudah kembali lagi kesini. Pikiranku dipenuhi dengan segala kecurigaan terhadapnya. Segera aku bergegas menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Selamat ya… selamat ya… selamat menempuh hidup baru.” ucap beberapa teman-temannya menyodorkan tangannya ke arah Dika bersalaman.
Pikiranku di penuhi dengan segudang pertanyaan dan rasa penasaran. Aku belum menikah dengannya, hanya baru merencanakan niat pernikahan usai lulus kuliah. Tapi kenapa semua teman-temannya mengucapkan selamat padanya.
“Dika, ini kenapa sih? Kita kan belum nikah, tapi kenapa mereka mengucapkan selamat sama kamu?” Dika hanya terdiam menundukkan kepalanya.
“Halo, kamu nggak tau ya? Dia kan sudah nikah.” sahut salah satu temannya yang duduk di sampingnya.
“Nikah!!!” kagetku memelototkan mataku. “Sama siapa?”
“Ya sama istrinya lah.” sahut temannya lagi.
“Apa!!!” teriakku memecahkan suasana, membuat semua sorot mata memandang ke arahku. Dika masih terdiam tak mengucapkan satu patah kata pun untuk memberiku penjelasan.
“Dika, dia siapa sih?” tanya temannya kepada Dika, namun tak disahut olehnya.
Rasanya hatiku semakin sakit, terkena reruntuhan yang mengguncang hatiku. Aku segera beranjak dari tempat dudukku melangkahkan kakiku pergi dari tempat itu. Aku terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Air mataku terus menetes semakin deras. Langkah kaki ku terhenti di bawah pohon rindang di taman. Aku tak pernah menyangka kalau Dika bakalan tega melakukan ini padaku. Dia menghancurkan semua mimpi ku hidup bersamanya, untuk menikah dengan gadis yang lain. Air mataku terus menetes seakan tak percaya bahwa kini harapan dan impian ku bisa hidup bersama orang yang ku sukai telah sirna.
Pagi ini aku bertemu dengannya di kampus, namun tak sanggup aku melihat wajahnya. Aku terus berjalan melewatinya, berpura-pura seakan tak melihatnya. Hatiku masih sangat sakit dengan apa yang telah terjadi. Setiap kali aku melihatnya, rasanya luka itu semakin terbuka lebar.
“Ratna! Tunggu!!!” teriak Dika memanggilku, aku masih terus berjalan berpura-pura tak mendengar panggilannya. “Hey, kamu kenapa sih?” Dika meraih tanganku berdiri tepat di depanku. Mataku berpapasan dengan matanya. Seketika aku nenundukkan kepalaku, tak mampu melihat wajahnya.
“Dengerin penjelasanku dulu.” ucapnya menatap lekat mataku.
“Kamu mau ngomong apa lagi, semua sudah jelas bukan!” ketusku. “Kamu menghancurkan harapanku untuk hidup bersamamu, dengan kamu menikahi orang lain.” ucapku lirih, mataku mulai berkaca-kaca.
“Aku lakuin ini karena terpaksa, aku sungguh nggak tau apa-apa. Aku pulang ke rumah, semua persiapan untuk acara pernikahan sudah disiapkan.” ujarnya.
“Tapi kamu kan bisa mengelaknya!”
“Bagaimana bisa aku mengelak? nama kedua orangtuaku dipertaruhkan. Aku nggak ingin mempermalukan kedua orangtuaku di hadapan orang banyak.” tukasnya lagi. Meruntuhkan hatiku semakin dalam, apakah ini yang ingin dia berikan padaku.
“Lalu perasaanku gimana? Apa kamu nggak memikirkan tentang perasaanku!” seruku meneteskan air mata. Hatiku semakin sakit mendengar penjelasannya. Sedikitpun ia tak pernah memikirkan tentang perasaanku. Ia hanya memikirkan tentang perasaannya dan orangtuanya, tanpa coba memikirkan perasaanku yang tersakiti olehnya.
“Bukannya gitu, tapi…” ia menundukkan kepalanya dan terdiam.
“Udahlah!!! Urus aja urusanmu sendiri dengan istrimu, jangan lagi ganggu aku ataupun muncul di hadapanku! Semoga kamu bahagia.” teriakku sembari meneteskan air mata. Berlari meninggalkan dia.
“Bagaimana aku bisa bahagia!” teriaknya, terdengar jelas di telingaku yang berlari meninggalkan dia.
Aku tak pernah menyangka kalau dia akan melakukan ini kepadaku. Dia datang untuk mencintaiku, namun dia pergi untuk menikahi gadis lain. Lalu apa artinya aku bagi hidupnya, sedikitpun ia tidak mencoba mempertahankan aku sebagai kekasihnya yang juga mempunyai impian untuk menikah. Sakit ini terasa sekali di hatiku, tak seharusnya cinta itu menyakiti. Sirna sudah semua impianku untuk hidup bersamanya. Kini aku hanya tinggal sendiri berteman dengan cinta yang melukaiku. Meninggalkan bekas luka yang sangat menyakitkan di dalam hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar